Search

Kamis, 21 April 2011

REALITY




REALITY






It’s time to face the truth





Prolog

“Hati-hati ya lo disana, e-mail gue, kabarin gue kalo ada apa-apa. Janji ya, Ren?” kataku pada Reno yang udah siap-siap naik pesawat. Kakakku satu-satunya ini akan melanjutkan kuliah di Oxford, which is my dream too.
“Calm down, dear. I will, lo tenang aja lah. Iya gue janji, lo baik-baik juga disini. Enjoy your new school, jangan macem-macem.” Tuntut Reno sambil mengacak-acak rambutku.
“Hm........”
“Come on, jangan kaya anak kecil gitu ah, you can being mean but not to the person who didn’t do anything. Being mean is important, tapi bukan buat nindas orang seenaknya dengan semua akses yang kita punya. Lo bisa jahat tapi khusus buat orang yang jahatin lo, okay?”
“I won’t..” Ini yang aku suka dari Reno. Dia benar-benar bisa ngerti posisi aku. Dia tahu aku memang gak bisa menghindari sifat ‘Mean’ yang mungkin memang sudah turunan. Reno juga begitu, tapi dia gak akan berlaku jahat ke orang yang gak jahat ke dia. And I wish I could do that too.
“Jangan jadiin orang-orang korban lo kalo lagi ada masalah, kalo ada apa-apa, you can text me.”
“I know I know. Kayanya lo nganggep gue jahat banget sih, Ren. I’m not that evil, right?”
“Yes, you are. Face the truth Mer, udah cukup banyak musuh lo diluar sana hahaha just kidd. Ah that’s my cue to go. See you, sist.”
“Take care then, gonna miss you.” Reno memelukku dan pergi sambil melambaikan tangan. Sometimes, aku ngerasa di satu keluarga ini cuma terdiri dari aku dan Reno. Papa sibuk sama kerjaan, Mama? Sibuk dengan hidupnya sendiri. Jadinya hari ini cuma aku yang bisa nemenin Reno berangkat.
Aku teringat ucapan Reno tadi, ‘Face the truth Mer, udah cukup banyak musuh lo diluar sana’. Am I that evil?

***
1

“Sorry for interrupting. But I need to talk to Miss Koesoedibyo,” kata Jefta kepada Mr.Robert, guru bahasa Inggrisku yang tengah mengajar saat ini.
“What for? Is it that important?” Tanya Mr.Robert.
Dalam hati aku berfikir, apa lagi yang mau diomongin sama dia.
“Yes, sir. I wanna talk about our project, and I have the permission to call her, actually,” tambah Jefta lebih meyakinkan. Well, dia bisa ngelakuin apa aja yang dia mau. Karena dia termasuk orang yang masuk dalam kategori one of ‘Beautiful People’ di sekolah ini dan orang tuanya adalah salah satu pemegang saham terbesar disini. Classic right? I have a boyfriend like that. But it’s kinda fun sometimes.
“Okay, I allow you Miss Koesoedibyo. But don’t take too long time, Mr. Reinhard” kata Mr.Robert yang keliatan malas untuk berdebat sama Jefta. Way to go, Jef.
“I won’t,” jawab Jefta singkat.
“Excuse me, sir” kataku sambil berjalan keluar mengikuti Jefta.
Aku melihat muka Mr.Robert yang agak kesal. Karena salah satu muridnya keluar waktu dia sedang mengajar. He said that for thousands times, but Jefta won’t care about that seriously. Aku juga masih berpikir apa yang mau diomongin sama Jefta saat ini? Biasanya dia cuma ngajak berantem atau minta maaf kalau aku marah. Tapi rasanya aku sama dia lagi gak bertengkar. Apa dia benar-benar mau ngomongin tentang project ekskul cinematografi yang diketuai sama dia?
Kami berdua pun berjalan menjauhi ruang kelasku. Kami berjalan di koridor yang terlihat sangat sepi karena memang jam segini belum saatnya break ataupun long break. Jefta pasti cabut dari pelajaran. Yeah, that’s one of his favorite thing to do. Tapi biasanya teman-temannya juga ikut sama dia, oh mungkin mereka ada di cafetaria. Itulah istimewa atau ‘istimewa’ dari sekolah ini. Kalaupun ada guru yang melihat muridnya cabut dari pelajaran, mereka gak akan menegur atau memarahi. Jadi kalo sekolah disini ya mesti punya kesadaran diri yang tinggi lah.
Aku tetap berjalan membuntuti Jefta sampai akhirnya, Jefta berhenti berjalan dan menengok ke arahku. Aku melihat sekeliling, sekarang aku ada di taman belakang. Gak ada orang selain aku dan Jefta. Tapi sayangnya dia belum berbicara apa-apa. Wajahnya masih tetap datar dan aku bisa lihat ada sedikit emosi yang makin lama makin besar di diri dia.
“What’s going on actually?” tanyaku yang sudah sangat penasaran sama dia yang daritadi tetap membisu.
“Harusnya aku yang nanya, Mer! Ada apa sama kamu dan Andrew?” bentak Jefta tiba-tiba.
“What?Where is this coming from?We’ve talked about this, like for a billion times! Aku cuma temenan sama dia.” Jawabku yang udah mulai kesal.
“Aku denger kabar ini dari Fida. Dia bilang ini semua ke aku. Jujur dong kamu!” Fida? Really? Oh God, the Queen Bee wanna be. Sampe kapan dia ngeganggu hidup aku! Such a slut!
“Fida? Sampe kapan kamu percaya ke dia? Udah berkali-kali aku jelasin semuanya! Aku gak ada apa-apa sama Andrew, we’re just friends!”
“Tapi kemarin kamu jalan kan sama dia? Fida bilang dia lihat kamu sama dia di Grand Indonesia! Apa itu bener?”
“Ya ampun Jef, itu aku kebetulan ketemu dia disana. Abis nganter Reno, aku pergi ke GI buat ketemu sama Lexa & Aurel. Tapi sebelum ketemu mereka, disana ada Andrew and he’s just droppin’ by to say hello!”
“Tapi kata Fida.....”
“Fida Fida Fida! Sampe kapan sih kamu lebih percaya sama dia, Jef? Kamu tahu kan dari dulu dia selalu ganggu hubungan kita? Dan kamu juga masih percaya dia?”
“Aku cuma mau kamu jujur Mer, sama aku!”
“I am, Jef. Aku jujur sama kamu. Terserah kamu lah sekarang mau gimana. Aku capek bahas ini semua. It’s better if we end it up!” kataku sambil jalan menuju kelas.
“Mer!” panggil Jefta. Aku tetep berjalan tanpa peduliin dia. Kenapa dia masih aja percaya sama si Bitchy itu?
FYI, Fida itu salah satu temanku yang addicted sama popularitas. Dia juga sering ke club-club dan party-party gitu. Well, I did too. Tapi karena popularitas, dia juga rela buat do that ‘thing’ with the beautiful people. Kaya Adam, mantan ketua basket disini, terus Ryan yang juga ketua klub tenis, and many others. Satu-satunya yang masih dia incer itu ya Jefta, that’s why I hate her so much! She wants to be the one, but she should know that she’ll NEVER be the one. Note that!
Onyx-ku bergetar, waktu kulihat ada 2 messages dari my BFF, Aurel dan Alexa. Inti isinya sama asking about what’s going on yang cuma aku balas dengan ‘see you at cafeteria’.
Aurelia Chandra Pratama dan Alexa Anindya Mahendra adalah dua teman baikku dari SMP. Dulu aku punya 6 teman baik yang entah kemana mereka sekarang ini sehingga tinggal Aurel dan Lexa. Dua orang yang orang tuanya bekerja sama bareng orang tuaku membentuk suatu perusahaan besar yang termasuk maju sampai sekarang. Mereka mulai membangun cabang di berbagai kota yang masing-masing ditempati oleh Ayahku, Ayah Aurel, dan Ayah Lexa. Mereka juga termasuk salah satu pemilik sekolah ini just like Jefta’s dad.
Waktu aku hampir masuk kelas, bel berbunyi dan Mr.Robert keluar dengan wajah yang lebih baik.
“I give you a homework, Miss Koesoedibyo. Check your e-mail.” Katanya datar.
“Oh yeah, thanks.”
Aku langsung beranjak ke dalam kelas dan disambut my BFF. Tapi aku hanya memberi isyarat ke mereka untuk mengikutiku ke cafeteria. Sampai disana aku segera duduk di tempat yang biasa kami tempati. Untungnya disana nggak ada Jefta dan teman-temannya. Cause I’m not ready to meeting him now.
“Tell me! What’s going on?” tanya Lexa. Gadis yang satu ini memang sangat perhatian sama hubunganku dan Jefta karena dia juga berhubungan sama salah satu sahabat Jefta, Joshua tepatnya. Aurel juga berpacaran dengan teman Jefta lainnya, Adli.
“We broke up….” Jawabku singkat.
“Really? How come? Oh my God, siapa yang mutusin? Putusnya gimana?” Kata Aurel yang menyodoriku dengan sederet pertanyaan gak penting itu.
“Rel, take it easy! Give her time to calm herself!” kata Lexa pada Aurel.
“Fida did this…” kataku.
“Really? Oh God, that’s her,” kata Aurel sambil menunjuk ke arah seorang gadis yang sedang melirik ke arah sini.Oh God, aku benci melihat wajahnya yang selalu pura-pura innocent saat aku melihat ke arahnya.
Wait, that’s my necklace! Yeah, kalung vintage-ku yang waktu itu ketinggalan di restroom, ternyata diambil dia? Oh God, and she uses it now?How dare she! But thank God, aku gak terlalu suka kalung itu. Tapi tetap aja, SHE’S A THIEF!
Aku pun langsung berdiri dan mengambil tote-bag Gucci-ku yang ada di atas meja dan berjalan ke meja Fida dan langsung diikuti my BFFs.
“Excuse me…” kataku sambil memasang senyum terbaikku.
“Wow it’s amazing! The Most Famous Clique in this school came to us. What? Apa lo mau ngasih ‘title’ Queen of the school ke gue? With pleasure, karena kayaknya gue juga udah cukup dekat sama King of the school,” jawab Fida yang cukup membuatku kesal dan membuat kedua temanku tercengang. Aku tetap menahan emosiku yang cukup meluap-luap. Calm down Mer, do it just like you always did.
“Well, don’t be so sure. You should’ve known what I’m going to say to you right? Just wanna warn you, you have 2 days to get away from my eyes and my frends. Ow, including my ex. Don’t make any mess with me dear. If you don’t want to, you know what will happen right?”
“What do you mean?” Jawabnya. Way to go, Mer. She asks for that.
“Of course you know what I mean. Oh umm FYI, have fun with your last time then. See you!”

***

“WHAT THE HELL IS THIS?” Dari jauh aku bisa mendengar suara itu, which is I’m pretty sure that’s Fida’s voice.
“Is there something wrong, Darling?” Kataku sambil berdiri di sampingnya yang masih mematung melihat handphone-nya.
“How...dare.. you....” Katanya sambil hampir menangis.
“Ah this photos, I warned you right?” Kataku sambil mengambil handphone di tangannya. Di layarnya terpampang foto dia sedang bersama beberapa orang yang mukanya di blurred. Foto ini diambil di sebuah party dimana Adam jadi host-nya. Dan ternyata Fida melakukan hal tidak senonoh dengan seseorang di pesta itu. “Poor you, are you really that cheap? Oh my God, your mom and dad will cry at home if they knew it.”
“Don’t you ever dare to...”
“Post it on my blog? I just did..” Potongku dan saat itu juga beberapa orang yang mendengarkan pembicaraan kami segera mengeluarkan handphone dan laptop mereka yang aku rasa mereka akan segera membuka blog-ku.
FYI, aku punya suatu blog yang memang aku buat untuk melakukan kejahatan seperti ini. Ups, bukan kejahatan tapi keisengan. Everyone knows that, If they ever make any mess with me, their name will be appear on that blog. Tak lama kemudian, orang-orang disana segera memberikan tatapan jijik kepada Fida.
“You.......” Fida tidak bisa menyelesaikan kata-katanya karena menahan tangis yang sebentar lagi akan keluar sepertinya.
“You know now right? I’ve told you, so what will you choose? Just go away from my life, or stay here with your bad reputation? Enjoy!” Kataku sambil meninggalkan Fida disitu yang sedang menangis.
Sebenarnya aku gak terlalu suka melakukan ini. Tapi karena ini dia yang memulai, why not? Kaya yang dibilang Reno, aku gak boleh memulai untuk bersikap ‘mean’ ke orang yang gak salah apa-apa. Walaupun, aku masih sering melakukan itu saat-saat mendapat mood yang super bad.
In this case, dia yang mulai dan menurutku ini cukup kelewatan, so I really have to give her some punishments biar dia gak berbuat seperti itu lagi ke orang lain. Jadi gak sepenuhnya salahku kan kalo tiba-tiba nanti Fida diasingkan oleh orang tuanya ke tempat yang jauhhh banget, biar gak malu-maluin? Atau malah sebelum orang tuanya tahu, dia udah stress duluan? Who cares?

Pretty harsh maybe, but this is me.
So don’t you ever dare to make any mess with me.


***






2

“Mer, Mama perlu bicara sama kamu..” Kata Mama yang lagi duduk di sofa ruang tengah sambil memegang majalah Bazaar, she’s a fashion addict just like me, oh no not like me. Aku gak terlalu suka disama-samain sama dia.
“Ngomong aja disini, Ma.” Aku menghentikan langkahku yang udah mulai naik ke tangga. Jujur aja setelah apa yang terjadi di sekolah, aku gak mau nambah masalah lagi dirumah.
“Kenapa kamu gak bilang kalo minggu lalu ada pembagian hasil mid semester?”
“Karena Mama gak nanya…”
“Kamu tuh harusnya kasih tau Mama! Tadi Kepala Sekolah telfon Mama! Mama malu Mer, karena mereka pasti mikir Mama orang tua gak bener karena gak ngambil hasil mid kamu itu! Kamu gimana sih?!” kata Mama marah-marah. She starts it…
“Loh? Kenapa mesti malu? Emang kenyataannya gitu kan Ma? Mama emang gak pernah peduli sama aku, Mama selalu nyalahin aku kalo ada masalah apapun. Wake up, Mom! You’re not the right one! Mama itu bukan yang paling bener! Tapi kenapa Mama selalu ngerasa paling bener? Kerjaan Mama cuma jalan sama temen-temen, shopping dan ngomel ke aku. Gak capek apa Ma? Lagipula aku juga lebih suka Reno yang ngambil report book aku daripada Mama, karena dia jauh lebih tau tentang aku ketimbang Mama!”
“Apa kamu bilang? Kamu pikir siapa yang ngerawat kamu selama ini? Hah?!”
“Pembantu, dia yang selalu masak makanan buat aku. Papa yang walaupun lagi sibuk dimanapun masih sempet e-mail aku tiap malem. Reno yang selama ini denger semua cerita aku. Sementara Mama yang deket malah kaya gini! Kalau gak ada mereka, mungkin aku udah bunuh diri sekarang Ma! Udahlah Ma, aku capek!” jelasku sambil jalan keluar menuju keluar lagi.
Padahal baru sampa rumah, tapi keberadaan Mama bikin aku males untung stay lama-lama disana. Aku langsung mengemudikan Camry yang biasa aku bawa kemana-mana. Tadi Pak Parno sempat nawarin biar dia aja yang bawa, tapi aku gak mengiyakan. Cause I really really need some times to be alone.
Gila! Semua kejadian yang gak aku harepin benar-benar terjadi hari ini. Dari mulai Most Enemy, sampe Mama yang kaya gitu. Jujur aja, aku dulu benar-benar respect sama Mama. Tapi semenjak dia mulai kaya gini, sibuk sama kehidupannya dan kerjaannya ngomel ke aku, rasa respect itu berkurang. Dia selalu berfikiran kalo dia orang paling bener di dunia. But the fact is, Nol Besar.
Hubunganku sama Mama mulai memburuk sejak dari 5 tahun lalu. Saat itu adikku satu-satunya meninggal karena leukemia. Namanya Raka, kalo sampai saat ini dia masih hidup mungkin sekarang dia udah kelas 3 SMP.
Raka merupakan anak yang sangat disayang Mama sama Papa, juga aku dan Reno. Karena dia, kami berempat bisa terlihat seperti sebuah keluarga yang berkomunikasi dengan benar, berkumpul, layaknya sebuah keluarga.
Dia benar-benar seperti mood-maker di keluarga kami. Sifatnya yang sangat periang, jauh berbeda dengan kami semua. Dia mudah bergaul sama siapa aja, dia selalu memiliki bahan omongan untuk didiskusiin kita semua.
Sayangnya, dia mengidap penyakit terkutuk itu dan siapa yang percaya? Raka yang selalu terlihat bahagia itu ternyata mengidap penyakit macam leukemia. Tapi yang aku kagum dari dia, dia gak pernah mengeluh karena mengidap penyakit itu. Dia tetep ceria, tetep mau bercanda sama aku dan Reno. Padahal aku, Reno, Papa, Mama, sadar kalo dia sebenernya lagi kesakitan banget tapi dia gak mau bikin kita semua khawatir.
Dia juga sangat dekat denganku dan Reno. Biasanya kalo lagi ada masalah di sekolah, dia selalu cerita ke aku begitu juga sebaliknya. Aku, Reno dan Raka punya acara sendiri tiap malam Rabu. Kami selalu menghabiskan malam itu dengan game truth or dare. Raka biasanya lebih memilih truth karena yaa, sifatnya yang memang sangat terbuka itu. Sementara aku dan Reno, lebih sering memilih dare, tapi lama kelamaan kami juga memilih truth karena Raka juga sering bilang ‘there’s no secret in family’. And that’s right, I agree with him AT THAT TIME.
Semenjak kepergian Raka, fungsi sebuah keluarga di keluarga kami mulai hilang. Papa yang sangat merasa kehilangan, sengaja menyibukkan diri dengan kerja. Mama jadi lebih sering menghabiskan waktu sama teman-temannya dan menghibur diri sendiri. Reno waktu itu sempat melampiaskan kesedihan dan rasa kehilangannya dengan cara menyiksa dirinya sendiri dan menyiksa orang lain.
Sementara aku? Jujur aku dulu bukan orang seperti ini. Aku lebih menuju ke tipe orang yang ‘nerdy’. Tapi karena melihat tingkah laku Reno yang waktu itu, aku mulai terbawa dengan cara hidupnya dia. Makanya sekarang Reno menahan-nahan aku banget biar gak ngelakuin hal-hal kejam yang dulu pernah dia lakuin. But I wouldn’t, cause I’m having fun with it.
Karena itulah, aku benar-benar kehilangan sosok seorang ‘Ibu’ yang harusnya selalu ada buat anaknya. Maksudku, udah 5 tahun setelah Raka pergi dan Mama masih seperti itu. Mama masih gak mau mempedulikan aku sama Reno. Dia lebih sering mementingkan diri sendiri, ngeliat-liat foto Raka sampai akhirnya menangis. Aku sempat maklum waktu itu, tapi sampai sekarang Mama belum mau berubah, aku rasa itu kelewatan.
2 tahun lalu sebenarnya kami sepakat untuk gak mengingat kepergian Raka lagi, agar fungsi keluarga ini mulai membaik. Bukan bermaksud ngelupain Raka, tapi lebih menuju ke cukup mengenang dia di dalam hati agar kami bisa melanjutkan kehidupan seperti biasa. Tapi Mama ternyata masih belum bisa berubah juga. I need a Mom, but not that one.

***


“Good evening..” Kataku kepada resepsionis itu.
“Oh Ms. Koesoedibyo, here you go.” Katanya sambil ngasih kunci apartement aku yang aku titip disana. Cause actually, im a lil bit careless.
“Thanks.”
Gedung apartemen ini adalah salah satu kepunyaan Papa. Tempat yang keliatan sangat mewah dari luar, benar-benar mewah juga di dalamnya. Papa juga sudah sengaja membagi satu apartemen buat aku dan Reno. Dulu Reno juga sering kesini sama seperti aku.
Dengan cepat aku berjalan ke kamar di apartemenku. Kamar berukuran 6x7 yang didominasi oleh warna baby blue ini adalah tempat terbaik buatku. Kamar ini di desain sama Papa waktu aku masih grade 7. Setiap ada masalah atau bosen di rumah aku segera pergi kesini. Apalagi semenjak kepergian Raka, aku lebih suka menenangkan diri dengan cara menyendiri di tempat ini. Tempat strategis yang cukup jauh dari rumah dan dekat ke sekolah.
Waktu aku grade 8 juga Papa sama Reno pernah ngadain surprise party di tempat ini. Unforgettable moment, pesta kecil yang dimeriahkan sama orang-orang terdekatku. Well, kemewahan gak selalu menang dari sesuatu yang sederhana.
Biasanya kalo lagi disini, kedua BFF-ku bakal dateng. Tapi not for tonight, they’re busy with their boyfie, which are Jefta’s friend. Bukan salah mereka juga sih mereka gak bisa kesini, karena aku juga gak ada hak buat maksa mereka yang lagi pacaran.
Now, here I am. Alone. I can do whatever I wanna do. Aku segera membuka Mac-ku (satu-satunya yang paling setia setelah my Onyx) dan ternyata ada e-mail dari Reno. Dengan segera aku membalasnya dan menceritakan apa yang terjadi hari ini.
Renovan Adrian Koesoedibyo adalah kakakku satu-satunya. Like I said, sekarang dia sedang kuliah di Oxford. He’s the greatest brother in the world I guess. Reno gak seperti kakak laki-laki pada umumnya, dia peduli banget sama adik-adiknya. Terbukti dengan dia yang tetep ngirimin aku e-mail tiap malem walaupun dia jauh dan pastinya sibuk, dia juga masih sering ngajak aku ke makamnya Raka.
Almost everyone likes him, well he’s handsome, smart, and kind. But he’s kinda playboy. Setelah dikhianatin sama pacarnya dan dampak dari kepergian Raka, dia berubah jadi kaya gini. Dia benar-benar terpuruk saat itu. Cliché. Tadinya aku mau membalas itu ke cewek penghianat itu, tapi Reno ngelarang aku. Dia udah malas berurusan sama cewek itu.
Ternyata Reno sedang online, jadi kami pun chatting. Aku bercerita semuanya dari mulai putus dengan Jefta, berantem sama Mama. Yah emang begini kehidupan aku, gak jauh dari yang namanya bertengkar, masalah. Dia hanya mendengarkan semua ceritaku, dan itu cukup membuatku tenang. Dia juga memberi nasihat, mungkin aku harus lebih menghargai Mama. Sounds hard.
Setelah puas ngobrol sama Reno, aku pun menyudahi chat itu. Reno juga mau berangkat ke kampus. Ternyata sekarang udah jam 8, pantes aja aku lapar. Disini gak ada makanan, udah lama gak belanja buat persiapan disini. Abuba sounds great, I think. Tiba-tiba ada yang membunyikan bel.
“Jefta?” Waktu ngebuka pintu tepat depan mata aku ada dia yang udah berdiri disitu. Dia hanya menggunakan jeans + t-shirt reebok kesayangannya dilapisi dengan simple jas berwarna hitam. Muka Jefta terlihat sangat muka lesu.
“Glad you’re here..” Jawabnya singkat.
“What are you doing?” Kaku. I have no idea what to say, it’s such a surprise to see him now.
“I wanna fix this, can we talk?”
“Sure..” Jawabku singkat.
Aku segera mengganti bajuku. Aku memutuskan untuk menggunakan black dress-nya Donna Karan yang sepertinya cukup simple dan cocok untuk pergi dinner bersama Jefta.
Dia mengajakku makan di sebuah restoran yang cukup dekat dari apartment ku. But, never been there. I have to admit it, restoran ini memiliki dekorasi yang sangat bagus. Suasananya tenang karena memang ini agak terpencil, simple. Sejauh yang aku liat, disini orang pacaran semua. Hm, nice choice.
Jefta mengajakku naik ke lantai atas restoran itu. Di bagian atas itu suasananya full white dan ternyata gak ada orangnya. Kosong, dia narik tangan aku ke sebuah meja dan ternyata di lantainya itu banyak mahkota bunga-bunga mawar. White and red are my favorite color, and this place is so gorgeous.
Setelah duduk aku pun masih melihat sekelilingku. He knows my favorite. Tapi muka dia masih tetap sendu. Tiba-tiba dia mengeluarkan seikat bunga dari belakangnya, Orchid! Great flowers, dia memberikan bunga itu dengan secercah senyum di wajahnya.
“Thanks, for all of this. This is so gorgeous...” Kataku sambil tersenyum.
“You’re welcome, glad you like it...” Senyum itu datang lagi, senyum Jefta yang mempesona buat semua orang. Dia tipe orang yang jarang tersenyum, so it’s a great moment.
“What are we going to talk about?”
“I love you, I wanna fix our relationship. I know I was wrong, seharusnya aku gak percaya sama Fida. Tapi waktu itu aku emang lagi banyak masalah dan denger Fida ngomong gitu, aku percaya gitu aja dan aku malah marah ke kamu. Aku salah banget, Mer. Will you forgive me?”
Aku hanya diam.
“Mer? Will you give me the second chance?” Tanyanya lagi.
Aku masih diam. Aku berfikir lagi, apa yang sebenarnya lagi aku rasain saat ini.
“Jef, aku ngerti kok. I love you too. Tapi aku mau minta sesuatu, kalo kamu lagi ada masalah kamu cerita aja ke aku. Aku gak mau jadi pacar yang cuma mau enak-enaknya aja. Mungkin aku bisa bantu kamu nyelesain masalah kamu itu. Right? Guess I’ll give you the second chance..”
“Of course dear, aku janji kalo ada apa-apa aku bakal bilang ke kamu. So we’re still in a relationship right?”
“Yeah. Cheers?” kataku sambil mengangkat gelas yang terisi lemon squash, my favorite beverages after coffee.
“Cheers!”

***

“One problem, resolved. I feel much better!” Kataku pada Reno di telfon. Keesokan paginya, aku segera menguhubungi Reno karena semalem Reno khawatir sama masalah-masalah yang ada di sekitar aku.
“Really? Good job, sist. Where are you by the way?”
“Preparing myself to school, why?” Tanyaku sambil menyantap roti dengan selai strawberry sebagai sarapan tiap pagi.
“Apartment?”
“U h-huh. Not ready to home yet..” Ya aku belum siap untuk ketemu Mama. Aku gak mau jadi anak durhaka, daripada aku berantem sama dia lebih baik gak ketemu sama sekali kan? walaupun kaya gini juga rasanya gak enak.
“You promised me, you wanna fix it. Remember?”
“I remember, I know, I will. But not now. Hm guess I should go, Jefta already here. Talk to you soon, get some rest. Take care..”
“Ok, you too sist.”
Aku segera menutup telfon. Sebenarnya Jefta belum datang, tapi karena aku sangat malas untuk membicarakan tentang Mama, it’s better to end that conversation. Aku pergi ke depan cermin, dan melihat diriku. Aku mengenakan seragam sekolah dengan sangat rapi, ditambah kalung Gold Digger berbentuk pita, dan scarf yang melingkar di leher. Hari ini cukup dingin karena hujan dari tadi malam.
Gak lama kemudian ada yang membunyikan bel didepan, yang aku yakin itu Jefta. Aku melihat Harry Winston-ku, oh pantas sekarang udah jam 7. Aku segera mengambil tote-bag Louis Vuiton yang baru dibeli minggu kemarin, dan membuka pintu.
“Ah, ready to go?” Tanya Jefta .
“Yap, you look great.” Kataku. Padahal Jefta hanya menggunakan seragam biasa, ditambah dengan coat berwarna hitam. Tapi dia memang memiliki aura tersendiri yang bisa membuat orang kagum padanya.
“So were you. I guess we’re gonna win as ‘Perfect Couple of the year’ haha. Let’s go.” Katanya sambil menggandeng tanganku.

***




3

“You’re getting back, right?” Tanya Lexa padaku.
Pagi tadi, aku melihat banyak orang berbisik-bisik saat melihat aku dan Jefta jalan berdua. Gossip spreads really fast, berita kami bertengkar sudah diketahui seluruh murid disekolah ini. Dan berita kami baikan, mungkin sudah menjadi bahan omongan mereka sekarang. Well, I’m not surprise about this one.
“Yeah, last night..” Jawabku singkat. Aku benar-benar lupa memberitahu mereka, karena terlalu lelah semalam. “Sorry, for not telling you guys asap.”
“It’s okay, baby. Really happy to hear that. You both are perfect, jadi jangan sia-siain hubungan kalian.”
“I hope so, darling..” Jawabku agak kurang semangat.
Jujur aja aku bener-bener kecewa sama Jefta yang terus-terusan lebih percaya sama omongan orang lain daripada sama aku. Apalagi sama Fida, he really really trusts her, I don’t know why. Itu ngebuat aku agak malas untuk berhubungan sama dia, waktu semalam aku ngasih dia second chance juga sebenernya gak tulus-tulus banget. Tapi gimana ya, aku gak suka dia kaya gitu.
“Eh iya, gue ke aula dulu ya mau ketemu Adli hehe. See you both later!” Tambah Aurel sambil pergi meninggalkan kami berdua.
Long break memang saat-saat Aurel dan Adli bertemu dan aula adalah tempat favorit mereka. I don’t know exactly what are they doing right there, kadang aku bertanya pada Aurel dia ngapain aja disana. Dia cuma menjawab ‘nothing just talking and talking’. Well, it’s her own business by the way.
“Thanks, Rel. See ya ” Jawabku singkat.
“Is there something wrong, Mer? Lo kan baru baikan, kok kayanya gak mood gitu?” tanya Lexa. Dia sangat sensitive, jadi aku benar-benar gak bisa nyembunyiin apa-apa dari dia.
“I’m okay, nothing’s wrong.”
“You’re not good at lying thing,in case you don’t know.” Tambahnya.
Aku tetap diam. Agak malas untuk membicarakannya karena kalo gitu masalah pasti tambah panjang dan aku gak suka ngurusin hal kaya gitu.
“I know, just I don’t wanna talk about it. Gue bakal cerita kalo gue lagi mau, Lex. Just, not now...”
“Okay, tell me whenever you want.”
“Sure. Lo gak ketemu sama Joshua?” Tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku memang biasanya selalu cerita sama Lexa, but not for this one I guess or later maybe.
“Enggak, Mer. Lagi agak males aja gue sama dia.”
“Wow, what’s up?”
“Nothing, gue lagi gak mood aja. PMS, like always.” Ya saat-saat PMS, Lexa sama denganku. Moodnya sering berubah dengan sangat cepat, dan drastis. Hal yang tadinya dia suka, bisa berubah jadi hal yang sangat dia benci saat PMS.
“Ah really?”
“Yeah really. By the way, tadi di kelas Physics gue ada murid baru loh. Kinda cool, namanya Damar. You should see him, darl.”
“Damar? Damar siapa, Lex?”
“Damar Febrisomething gitu deh, Mer. He’s so cool, and looks smart by the way. Tadi aja banyak banget cewek-cewek yang flirting sama dia, tapi dia stay cool gitu. Dan cool-nya juga gak dibuat-buat. Emang darisananya gituuu. Untung gue bisa stay cool juga, gue rasa dia masuk list 10 besar the most handsome man in here deeeeeeh.”
“Is he really really that cool?” tanyaku agak bingung melihat reaksi Lexa yang menurutku, too much.
“Yeah, Mer. Totally! Gantengnya tuh ganteng Indonesia banget, asli Indonesia bukan blasteran. Can you imagine?”
“Hey, Shimmerly right?” Tanya seseorang dibelakangku tiba-tiba. Suaranya agak nge-bass. Aku langsung menengok dan didepanku ada seorang laki-laki berbadan atletis dan cukup tinggi, and he had tanned skin. Rambutnya gak terlalu panjang ataupun pendek.
“Sorry?” Tanyaku bingung.
“Hai, Damar!” Sapa Lexa sambil melambaikan tangan. Oh, ini Damar itu. Tunggu, kayanya gue pernah lihat orang mirip dia deh. Tapi siapa ya?
“Hai, Lexa kan? Tadi kita sekelas di Physics yaa..” Lanjutnya sambil tersenyum ke arah Lexa. Wow, senyumnya terlihat sangat manis. Wait, control yourself Mer!
“Iya, Mar. Eh lo ngapain kesiniiii?” Tanya Lexa begitu ceria. Cheerful, yeah that’s what she is. Lagipula siapa juga yang gak bakal ceria, kalo disenyumin orang kaya Damar. Kesan pertama, he’s kind but cool in his own way.
“Gue mau ketemu dia hehe,” jawab Damar sambil menunjuk dan melihat ke arahku. Aku agak shock mendengarnya, I don’t even know him gitu kan. Aku langsung menengok ke Lexa dengan pandangan shock. Lexa hanya tersenyum-senyum gak jelas.
“Oh, yaudah gue kesana dulu ya. Mau ketemu Joshua,” Tambah Lexa sambil masuk-masukin handphone dan barang-barang dia yang tergeletak di meja, ke dalam shoulderbag topshopnya.
“Wait! I thought you were not in the mood to meeting him?” Tanyaku sambil menahan tangannya yang lagi beres-beresin barang-barangnya.
“Change my mind! I guess I miss him, see you guys!” Kata Lexa sambil langsung ngeloyor pergi.
“FARK!” Kataku pelan.
“So Shimmerly? May I sit here?” Tanyanya lagi sambil menunjuk sofa yang terletak di sebelahku.
“Yeah, sure. By the way, do we know each other?” Tanyaku sambil menengok ke arahnya. Damn! That smile show up again, can you just stop doing that? Keluhku dalam hati.
“You don’t remember me?”
“Hm... Not really, then why don’t you just tell me?”
Tiba-tiba bel berbunyi. Aku melihat jam, oh sekarang udah jam 13.00, long break is end but our conversation not yet. Aku membereskan barang-barangku bersiap-siap ke kelas biologi.
“It’s Damar Febrian Arditya, in case you forgot.” Bisiknya di telingaku, lalu dia langsung pergi tanpa menunggu respon apapun dariku.
Wait, Arditya? GOSH!


***


Aku duduk di paling belakang saat kelas biologi. Cuma di kelas inilah, aku gak sekelas sama 2 BFF ku. Jadi aku lebih memilih duduk sendiri di meja paling belakang, not really interested to this lesson.
Gak lama kemudian, Ms.Carr masuk bersama.....DAMAR? Again? Whoops!
“Good afternoon, class. Before we start the lesson, saya mau memperkenalkan murid baru di kelas ini. He’s just moved from United States. Mungkin sebelumnya ada yang sudah melihat dia di kelas Physics tapi gak ada salahnya juga kan saya memperkenalkan dia di kelas ini lagi. Everyone, Damar. Damar, everyone. ” Jelas Ms.Carr sambil tersenyum.
“Hey everyone.” Kata Damar dengan senyum andalannya. Semua murid perempuan dikelasku ini langsung apa ya namanya? Melted! Just like he’s too hot.
“Take your seat, Mr. Arditya. Enjoy yourself.” Lanjut Ms. Carr.
“Okay, thankyou Ms.Carr.” Jawab Damar sambil menganggukan kepalanya lalu berjalan maju. Wow wow, he’s coming to me I guess.
Dia berhenti disampingku, dan tersenyum seperti memberi isyarat agar aku bergeser ke kursi satunya. Semua murid langsung memperhatikan ke arahku. Saat aku melihat mereka, mereka langsung membuang muka.
Aku langsung bergeser ke kursi satunya. Damar duduk disebelahku dan melihat ke arahku dan tersenyum lagi, he’s smiling all the time and it sucks ugh!
“You don’t mind if I sit here right?” Tanyanya tiba-tiba.
“Nope..” Jawabku singkat.
Dia gak menjawab lagi.
“So, Arditya, what are you doing?” Tanyaku sambil menengok ke arahnya.
“Studying?” Dia melihat ke arahku sambil tertawa kecil. “Papa mutusin biar stay disini lagi. By the way, you look really different after 8 years, Koesodibyo.”
Aku hanya tersenyum kecil mendengar jawabannya.
“Do you miss me?” Tanyanya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku.
“Should i?” Tanyaku sambil melihat ke arahnya lagi.
“8 years are not a short time. Yeah you should, cause I do..” Jawabnya sambil tersenyum seperti menggoda.
“You know what? Mending lo perhatiin apa yang diterangin Ms.Carr, sebelum pelajaran ini selesai dia bakal ngasih post-test.” Jelasku sambil membuang muka dan menghadap ke depan lagi.
“Alright.”
Damar Febrian Arditya, dia temanku waktu kecil. Super close-friend sejak aku berumur 3 tahun. Aku selalu main sama dia, rumah dia dulu pas disebelah rumahku. Om Arditya adalah partner kerja Papa, sementara istrinya, Tante Anty juga temen deketnya Mama, jadi keluarga kami juga udah sering pergi bareng-bareng.
Waktu itu Damar bener-bener selalu nemenin aku kemanapun aku pergi. Aku dan dia juga dulu satu sekolah, aku yang waktu itu masih ‘nerd’ belum berani ngapa-ngapain, selalu aja dibelain sama Damar tiap ada orang yang berbuat aneh-aneh ke aku. Dia seperti pengganti Reno, bedanya dia gak suka sama air karena dulu dia hampir tenggelam sebaliknya Reno malah suka banget berenang.
Damar juga punya kakak laki-laki yang seumuran Reno, namanya Dimas Fauzan Arditya. Dimas sering banget juga main sama Reno, sifat mereka bener-bener mirip. Dimas juga cukup deket sama aku karena dia sering nginep dirumah jadi aku cukup sering ngobrol sama dia.
Sayangnya waktu aku berumur 7 tahun, Om Arditya mutusin buat pindah ke Amerika ngelanjutin kerjaannya disana. Dia memang hard-worker banget sama seperti Papa. Aku sebel banget waktu itu dan aku juga sempet minta Papa biar pindah ke Amerika juga biar aku tetep sama-sama Damar terus. Tapi Papa jelasin ke aku kalo kita gak bisa pindah, karena kerjaan Papa masih banyak banget disini dan blablabla, I don’t remember.
Aku juga waktu itu pernah nyuruh Damar biar tinggal disini aja sama keluargaku, tapi dia gak mau. That’s why I was a little bit angry to him. Dia bilang dia gak bisa pisah sama keluarganya, dia gak mau ngerepotin aku. Saat itu dia juga janji sama aku kalo suatu hari, dia bakal balik ke Indonesia buat ketemu aku lagi. Dia juga ngasih aku kalung sebagai bukti kalo dia bakal balik lagi.
Di hari kepergian dia, aku gak nganter dia ke bandara. Sementara keluargaku nganter mereka, aku mengurung diri di kamar sambil nangis dan ngeliat kalung dari Damar. Dan hari itu juga, Damar sms aku dan bilang ‘aku sayang kamu’. But I was 7 right? So we’re not in a relationship. Yang dimaksud dengan sayang waktu itu ya bener-bener sayang, bukan cinta atau something else.
Damar gak pernah ngasih kabar apa-apa lagi ke aku, surat, e-mail, gak ada satupun kabar tentang dia. Setelah itu, baru aku bertemu dan berkenalan sama Aurel dan Lexa. Sejak saat itu juga mereka jadi BFF ku sampai detik ini.
Sekarang, here he is. Dia udah balik ke Indonesia dan sekarang dia di sampingku, merhatiin pelajaran yang dijelasin Ms.Carr. I actually don’t know what to say and what to do. Aku mau berusaha tetep stay cool tapi aku gak bisa bohong terus-terusan juga, the truth is I’m so happy that he’s here with me now.

“Mau langsung pulang, Mer?” Tanya Damar saat aku lagi beres-beresin barang-barang aku di meja. Saat itu aku juga mengecek Torch-ku dan Jefta udah sms kalo dia nunggu aku di cafetaria.
“Cafetaria sebentar, kenapa?” Jawabku singkat sambil sibuk tanpa memperhatikan wajahnya.
“Wanna ask you out, we haven’t talked after 8 years. Can we?” Tanyanya sambil memegang tanganku yang tadinya lagi sibuk beres-beres.
“Sorry, but, my boyfie is waiting for me at cafetaria. So, I’ll talk tou you later..” Kataku sambil melepaskan pegangan dia dan langsung berjalan keluar.
Sebenernya aku mau-mau aja sama dia, tapi aku gak enak kalo Jefta tahu nanti malah jadi ribet jadi maybe next time aku bakal ngobrol sama Damar panjang lebar. Aku juga kurang suka nyebut Jefta, my boyfie soalnya ya like I said, udah terlanjur males sam dia gara-gara dia over-protective dan aku bahkan gak tau juga dia ngapain aja di belakang aku.
Aku berjalan menuju cafetaria, dan saat itu aku mendengar ada sekelompok cewek-cewek yang lagi ngomongin Damar. Kalo gak salah dengar, ada salah satu dari mereka yang pengen banget jadi pacar Damar. Geez, it’s the first day he’s getting to this school tapi fansnya udah numpuk dimana-mana.
Aku tetap melangkahkan kakiku ke cafetaria. Ada beberapa orang yang tersenyum dan menyapaku, aku membalasnya dengan tersenyum tipis karena aku agak-agak gak mood hari ini. Ada juga beberapa orang yang melirikku dengan tatapan benci atau tepatnya ENVY sama aku. Aku lagi malaaaaaaaaaas banget buat ngurusin orang-orang kaya mereka. MYOB pleaaaseeee!
Waktu sampai di cafetaria, disana udah ada Jefta, Joshua, Adli, Oddy, Arya, sama Kevin. Disana juga ada Lexa dan Aurel yang udah duduk di tempat biasa kami menghabiskan waktu tepat disebelah meja Jefta dan teman-temannya yang banyak itu. Aurel lagi sibuk bercanda sama Adli, dia melambaikan tangan seperti memberi isyarat agar aku ikut gabung disana. Sementara Lexa, sepertinya masih kurang mood untuk deket-deket Joshua. Buktinya dia lebih memilih duduk jauh dari Joshua dan Joshua kayanya maklum kalo Lexa lagi PMS memang selalu begini.
Aku melambaikan tangan ke arah Jefta dan memberi isyarat kalo aku mau nemenin Lexa dulu. Dia hanya mengangguk dan tersenyum. Aku langsung menghampiri Lexa dan menghempaskan badanku di sofa merah L-shaped itu.
“What’s up?” Tanya Lexa sambil berbisik-bisik.
“Nothing’s up really...”Jawabku agak malas karena aku tahu ke arah mana maksud pertanyaan Lexa.
“Okay, so what’s down?” Tanyanya lebih penasaran lagi.
“Dia temen lama gue, Damar. Inget gak sih dulu gue pernah cerita? Old story banget..”
“Hm......... Oh iya gue inget Damar-damar itu yang ke Amerika kan? Wah jadi itu dia, terus lo gimana?”
“Tadi gue sekelas di kelas biologi dan dia duduk di sebelah gue.”
“Terus?”
Aku pun menjelaskan sedetail-detailnya semua kejadian yang terjadi di kelas biologi tadi. Sampai waktu mau pulang tadi. Lexa memperhatikan ceritaku dengan seksama sambil menyantap strawberry juice favoritnya. Tadinya aku mau sekalian cerita tentang Jefta, tapi gak lama kemudian Jefta datang menghampiriku dan mengajak pulang karena dia mau ada acara sama keluarganya katanya.
Aku pun setuju dan langsung menghentikan pembicaraanku dengan Lexa. Aku langsung pergi ke parkiran bersama Jefta, sementara yang lain masih stay disana.
Waktu di parkiran, aku melihat Damar yang lagi dikerubungin cewek-cewek. Dia terlihat sangat risih tapi dia masih tetep berusaha senyum walaupun itu terlihat maksa banget. Dia menengok ke arahku dan langsung menghampiriku. What the hell is he doing?
“Going home?” Tanyanya sambil tersenyum lebar.
Aku hanya mengangguk. Jefta yang berada disebelahku menatap Damar dengan heran.
“Wow, lo siapa? Anak baru?” Tanya Jefta dengan agak jutek, like I said over-protective.
“Iya, gue Damar. Temen kecilnya Merly.” Jawab Damar sambil mengulurkan tangan ke depan Jefta. Aku hanya mematung di tempat, malas kalau nanti Jefta tiba-tiba emosi cemburu gak jelas.
“Gue Jefta, pacarnya.”Jawab Jefta singkat sambil menjabat tangan Damar.
“Oh okay kalo gitu. I’ll talk to you later?” Tanya Damar sambil melihat ke arahku tanpa mempedulikan Jefta.
“Yeah, sure.” Jawabku sambil mengangguk dan langsung berjalan ke arah mobilnya Jefta diikuti Jefta dibelakangku.

***




















4

“Damar?” Tanyaku bingung saat mendapati Damar ada didepan pintu apartemenku.
Saat pulang tadi, Jefta hanya mengantarku tanpa mampir-mampir dulu. Tadi dia juga sempet nanya, kenapa aku gak pulang ke rumah, berhubung aku males banget bahas masalah itu jadi aku bilang aja aku lagi mau sendiri aja. Setelah mencium keningku, dia langsung pergi lagi. Dan waktu aku baru selesai ganti baju ada yang membunyikan bel. Waktu aku buka, ternyata itu Damar. This is totally a ‘DAMAR’ day.
Damar hanya tersenyum tipis melihat wajahku yang kebingungan.
“How’d you get here?” Tanyaku makin bingung melihat Damar yang malah tersenyum itu.
“Gue ngikutin lo tadi, sorry..”
“Oh it’s ok. Masuk, Mar.” Ajakku yang langsung disambut dengan senyumnya dan dia langsung mengikutiku masuk ke ruang tamu yang gak terlalu besar ini.
Damar duduk di sofa hitam di ruang tamuku itu. Aku langsung berinisiatif untuk ke dapur mengambil minum untuk Damar. Aku menuang orange juice ke 2 gelas, dan langsung meletakannya di meja.
“Thanks. Lo tinggal disini?” Kata Damar sambil meminum orange juice yang aku bawa tadi..
“Sementara aja. Lo ngapain kesini?” Tanyaku dengan muka penasaran.
“Mau main aja, ngobrol-ngobrol sama lo. Gue ganggu gak?”
Aku hanya menggeleng. Agak kaku, aneh rasanya bicara sama Damar saat ini.
“Udah lama pacaran sama Jefta?” Tanyanya tiba-tiba. Wow! Aku gak nyangka kalo Damar bakal nanya kaya gitu.
“Lumayan, almost a year.” Jawabku sambil terlihat seperti menghitung.
Damar hanya mengangguk.
“Lo tinggal dimana sekarang? Semua pindah kesini kan? I should tell my Dad..”
“Keluarga gue pada di Bandung, gue aja yang di Jakarta. Mau nepatin janji gue ke lo dulu.” Jelas Damar yang mukanya berubah jadi agak sedih. Aku sendiri kaget denger jawaban Damar itu.
“Oh, thanks Mar..”
“It’s ok.”
Setelah itu kami melanjutkan pembicaraan kami, membahas hal-hal yang udah gak pernah lagi diomongin selama 8 tahun. Damar bilang dulu dia punya pacar di USA, tapi sayangnya pacarnya itu ya agak agak ‘wild’ jadi Damar lebih milih buat putus sama dia.
Kami mengobrol cukup lama, sampai saatnya Damar ngajak aku makan malem bareng dia. Akhirnya dia pulang dulu juga buat siap-siap, sementara aku siap-siap disini. Setelah dia pulang, aku langsung mandi dan memilih cocktail dress hitam-nya Don Donna yang baru-baru ini iseng aku beli ditambah beberapa aksesoris seperti kalung dan gelang yang aku beli di forever 21.
Waktu menunggu Damar dateng jemput, aku sempet mikir. Aku salah gak sih kalo pergi sama Damar gini? Tanpa sepengetahuan Jefta? Apa aku harus bilang ke Jefta dulu? Tapi Damar kan sekedar temen lama, ya I know he’s special tapi gimana ya..
“Yellow?” Sapaku di telfon, Damar sepertinya sudah sampai.
“I’ve already there, go downstairs.”
“Okay, hold on.”
***

Damar mengajakku ke restaurant di daerah kemang. Dari luar, restoran ini terkesan sangat mewah. Ternyata didalamnya pun begitu, suasana begitu cozy dan elegan, untungnya aku gak salah kostum. Damar juga mengenakan kaos putih polos dan di atasnya dengan jas simple berwarna hitam, and it’s like we’re perfect look together.
Dia terlihat sangat senang berada disini, kami duduk di bagian atas restaurant. Gak lama kemudian pelayan datang, aku langsung memesan lasagna yang terlihat sangat menggoda di menu. Sementara Damar, dia memesan fettucini yang bagiku terlihat menarik juga. Ini salah satu kesamaan aku dan dia, kami sama-sama menyukai makanan itali seperti ini. Minuman yang kami pesan pun sama, blue ocean.
Kami pun lanjut mengobrol sambil menunggu makanan datang. Tiba-tiba ada sepasang orang datang dan yang duduk agak jauh dari mejaku. Sepertinya aku kenal, siapa ya? Aku melihat menyelidik kea rah mereka dan GOSH, itu FIDA dan JEFTA. Is that real? Aku mengerjap shock.
“Kenapa, Mer?” Tanya Damar dengan muka sangat khawatir. Dia pun menengok ke arah yang sedang aku lihat. Dia terlihat shock dan langsung memberi tatapan sedih ke aku.
“I have no idea what to say..” Lanjutnya sambil melihat ke arahku.
“Me neither.” Kataku sambil beranjak bangun dari kursi dan berjalan ke arah mereka. Tapi sayangnya Damar narik tanganku.
“Stay, please.”
“NO.” Aku langsung melepaskan genggaman tangan Damar dan berjalan ke arah mereka.
Ternyata Jefta menyadari kedatangan aku dan mukanya langsung berubah panic bingung, mixed. Fida menengok ke arahku dengan tatapan kaget atau tepatnya super shock! I mean, how could she? FARK!
Aku tetap berusaha menahan emosi yang daritadi kutahan dengan susah payah. Damar datang dan berdiri di sebelahku. Muka Jefta terlihat shock, times 2.
“I thought you were going to a family gathering.” Kataku dengan simple, keep it calm, Mer.
“It’s.....You....What... What are you doing with him?” Tanya Jefta dengan terbata-bata sambil menunjuk kearah Damar.
“Old friend’s dinner, why? Got a problem with it?” Jawab Damar dengan santai.
“Oh of course yes!” Balas Jefta sambil berjalan ke arah Damar, yang langsung aku halangi.
“ENOUGH! It’s DONE.” Kataku, lalu aku mengarahkan tatapan penuh emosi ke Fida. “And you, such a slut. I could be more cruel, than I used to be. Ayo, Mar. Males gue disini.” Aku pun langsung berjalan menjauhi mereka diikuti dengan Damar.
“Tunggu dulu, Mer! Let me explain!” Kata Jefta sambil menarik tanganku. Aku bisa melihat Damar terlihat sangat kesal dengan tingkah Jefta.
“Oh there’s nothing to explain. You’re BUSTED!” Kataku sambil melepas tangannya dengan kasar.
“If you ever dare to make any mess with her, I’m the one that you’ll deal with.” Tambah Damar lalu menarikku pergi darisana. Jefta sepertinya agak takut dengan ancaman Damar barusan atau dia memang lebih memilih Fida, sehingga dia tetep stay disana.
Perasaanku gak jelas. Kesal, marah, sedih, oh and I’m starving by the way. Aku langsung masuk ke mobilnya Damar, dan berdiam diri untuk beberapa saat. Gak lama kemudian, Damar datang sambil membawa makanan yang tadi udah aku dan dia pesan dalam bentuk bungkusan. Kami kembali ke arah apartemenku. Sepertinya Damar memutuskan untuk makan disana saja.
Di perjalanan, aku hanya diam. Begitu juga Damar, sesekali dia menengok ke arahku. Begitu sampai di parkiran apartemenku, dia berhenti. Diam, begitu juga aku. Dia melihatku dengan tatapan kasian, prihatin mungkin.
Aku mencoba untuk tetap fokus menahan emosi yang sangat meluap-luap. Damar terlihat sangat khawatir, jadi aku mencoba melihat ke arahnya dan tersenyum. Sayangnya senyum yang aku tunjukkan malah memberi bonus air mata yang tiba-tiba mengalir. Damar langsung memelukku, mencoba menenangkan aku.
“I’m here, it’s okay. You have me.” Kata Damar dengan suara yang kental dengan rasa cemas. Dan entah kenapa, aku lega mendengar dia berbicara seperti itu. Aku merasa ada sedikit sosok Reno di diri dia.

“Thanks, for everything. I owe you, Mar.” Kataku saat dia mengantarku sampai depan pintu.
“No, you don’t. I’m the one who should say sorry and you’re very welcome.” Jawabnya sambil menarik wajahku ke atas dan tersenyum.
Aku mencoba untuk mengeluarkan senyum terbaikku dan dia mencium keningku.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More